Fundamental freedom atau kebebasan dasar yang dimiliki manusia yang biasa dikenal dengan hak dasar/asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan merupakan hak yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, seperti yang tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Masalah penegakan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Pada satu sisi, penegakan HAM berkenaan dengan meningkatnya kesadaran demokrasi di kalangan masyarakat Indonesia akibat dari mobilitas pendidikan, meningkatnya kehidupan ekonomi serta keterbukaan informasi.
Faktor-faktor internal tersebut harus diakui telah menjadi modal sosial bagi bangsa Indonesia untuk masuk ke dalam proses demokratisasi yang lebih matang dan rasional.
Pada sisi lain, tuntutan akan penegakan HAM juga dipercepat oleh arus demokratisasi global yang menggejala sejak berakhirnya Perang Dingin. Runtuhnya Komunisme di Eropa Timur telah menimbulkan mitos baru tentang apa yang disebut oleh Francis Fukuyama sebagai "berakhirnya sejarah" (the End of History) yang ditandai oleh kemenangan akhir demokrasi liberal di seluruh dunia terhadap seluruh paham ideologi politik.
Kedua, faktor internal dan eksternal tersebut telah menjadi penyebab dari bergolaknya dinamika politik nasional yang memasukkan Indonesia ke dalam masa transisi menuju demokrasi. Masa ini dipahami oleh Guillermo O'Donnel sebagai suatu interval waktu setelah berakhirnya suatu rezim otoritarian menuju ke arah berkuasanya rezim baru yang diharapkan lebih demokratis.
Situasi transisi demokratik ini ditandai dengan ketakmenentuan akibat dari menguatnya kepentingan politik dalam menetapkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur hukum. Di tengah situasi seperti itulah masalah penegakan HAM mencuat di Indonesia dewasa ini. Tidak dapat dihindarkan bila di tengah situasi seperti itu aturan-aturan tentang HAM menjadi lahan pertarungan bagi kekuatan-kekuatan politik tersebut. Peralihan dari rezim Orde Baru yang dipandang otoriter dan represif dengan sendirinya bergerak ke arah ketakmenentuan yang tercermin di dalam arah penegakan HAM di Indonesia.
Pengaturan HAM dalam Hukum Internasional dan UUD 1945
Ada beberapa instrumen-instrumen umum yang dijadikan pedoman secara internasional mengenai Hak Asasi Manusia antara lain :
Piagam PBB 1945
1. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
2. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
3. Kovenan Internasional Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya
4. Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang Ditujukan pada Penghapusan Hukuman Mati
5. Proklamasi Teheran
6. Piagam tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Ekonomi Negara, 3281 (XXIX)
7. Resolusi 1503 (XLVIII) Prosedur untuk Menangani Surat Pengaduan tentang Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia
8. Resolusi 1235 (XLII) Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, termasuk Kebijakan-kebijakan Diskriminasi Rasial dan Pemisahan Rasial dan Apartheid
9. Piagam Afrika tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak Rakyat
10. Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia
11. Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia
12. Konvensi bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
13. Piagam Sosial Eropa
Pelaksanaan HAM dan Kendala Yang dihadapi
Pelanggaran serius hak asasi manusia yang terus berlangsung di Indonesia secara gamblang menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum, khususnya di bidang HAM. Orde Reformasi yang sudah berjalan ternyata belum juga mampu menembus penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Penanganan beberapa kasus serius HAM di masa lalu pun masih berjalan di tempat. Meski berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari pembuatan peraturan hingga pembenahan organisasi Komnas HAM. Bahkan tak jarang keputusan hukum yang terjadi justru selalu membebaskan si pelaku pelanggaran HAM.
Bila coba kita runut, kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa hal baik sistem yudisial (polisi, jaksa, dan pengadilan) maupun jajaran birokrasi dan militer yang belum mampu mereformasi atau membebaskan diri dari kultur dan ideologi paternalisme dan otoriterianisme yang berpuluh-puluh tahun mengungkung mereka. Sementara di saat yang sama, masyarakat politik yang duduk dalam lembaga-lembaga politik dan partai-partai politik juga terus mengalami krisis ideologi dan budaya sehingga hanya sibuk memburu tujuan jangka pendek-demi kepentingan kelompok dan bukan demi kepentingan masyarakat luas. Hingga berdampak pada masih buruknya capaian HAM di Indonesia. Hingga saat ini, perlindungan terhadap hak asasi manusia semakin terabaikan.
Bagaimana dengan Komnas HAM sebagai salah satu lembaga yang fokus pada penegakan HAM di Indonesia? Banyak anggapan bahwa lembaga ini juga mengalami kemunduran namun menurut ketua Komnas HAM, Abdul Hakim, posisi lembaga ini dalam sistem perlindungan HAM di Indonesia sudah ditentukan dalam konsensus nasional antara wakil rakyat dan pemerintah yakni masuk dalam subsistem penyelidik. Dalam sistem tersebut lembaga mempunyai 3 fungsi yaitu: fungsi represif, fungsi solutif dan fungsi preventif. Ketiga fungsi yang dijalankan oleh Komnas HAM ini tidak akan berjalan maksimal jika tidak didukung oleh sistem penyidik yang lain atau oleh sistem peradilan itu sendiri. Namun dengan sistem yudisial dan politik yang terjadi di Indonesia saat ini, efektivitas dari fungsi tersebut sangat minimal.
Buruknya capaian HAM yang ada di Indonesia dalam tataran implementasi selain disebabkan oleh sistem yudisial dan politik, menurut Dirjen Hukum dan HAM, seperti yang ditulis oleh Kompas, juga disebabkan oleh masih sempitnya pemahaman penyelenggara negara akan HAM. Pemahaman akan pelanggaran HAM di sini masih terbatas pada bentuk-bentuk pelanggaran kasus HAM berat. Kondisi ini diperburuk lagi oleh masih rendahnya juga pemahaman masyarakat akan HAM, sehingga menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat untuk mengartikulasikan hak-haknya. Padahal pelanggaran HAM bukan hanya pada besar kecilnya kasus tetapi semua kejadian yang melanggar hak hak asasi manusia –hak dasar hidup manusia. Faktor lain yang juga turut memperburuk capaian HAM di Indonesia adalah masih terpecah-pecahnya masyarakat madani, sudah terkooptasinya kelompok profesi oleh kepentingan modal dan tidak terorganisasinya masyarakat.
Selain itu, yang menghambat pelaksanaan penegakan HAM di Indonesia anatara lain : kesempitan pandangan, kebodohan, kecurigaan, mau menang sendiri, dan kefanatikan. Dan jangan lupakan adanya beberapa tradisi yang kebiasaan yang harus ditinggalkan, seperti suka mendendam dan membalas dendam. Lagi pula: adanya beberapa ideologi sekuler yang berasal dari luar, yang mendewa-dewakan kekerasan sebagai sarana utama dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menambah masalah dalam penegakan hukum di Indonesia.
Dari seluruh kondisi riil yang ada, kita dapat melihat bahwa pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia saat ini masih sebatas pada pemenuhan hak sipil dan politik, dan belum sepenuhnya memperhatikan hak-hak masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya. Perspektif HAM dalam setiap kebijakan yang diambil termasuk kebijakan terhadap ekonomi makro pun juga masih minim. Pemenuhan hak sipil dan politik seperti dalam kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan berbicara, belum diimbangi dengan perlindungan hak asasi ekonomi, sosial dan budaya. Demokratisasi yang ada masih sebatas talking democracy, belum working democracy sebab belum dituangkan ke dalam pemenuhan hak hak asasi paling dasar sebagai manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Rendahnya pemenuhan HAM bidang ekonomi, sosial dan budaya masih terlihat dari tingginya angka kemiskinan, angka kematian ibu melahirkan, angka kematian bayi hingga pada maraknya kasus busung lapar beberapa waktu lalu. Kondisi ini menyiratkan masih rendahnya kemampuan masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan dan masih rendahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Pada akhirnya, kondisi tersebut juga bersumber pada masih lemahnya perlindungan hak mereka oleh pemerintah.
Bila kita kembali melihat ke belakang, upaya penegakan dan penanganan HAM di Indonesia sebenarnya telah diawali pemerintah dengan meratifikasi 4 instrumen komponen HAM yaitu Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan, dan Konvensi Menentang Segala Bentuk Diskriminasi. Ada satu konvenan yang fokus pada penanganan hak ekonomi sosial masyarakat yaitu International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Walaupun telah meratifikasi ICESCR, namun belum menjamin tercovernya pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Kondisi penanganan dan penegakan hak ekonomi tersebut masih belum maksimal.
Hak ekonomi meliputi hak atas pangan, sandang, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, akses pelayanan kesehatan serta hak untuk hidup layak. Namun kondisi masyarakat saat ini masih banyak yang tidak dapat hidup dalam kondisi layak. Data dari beberapa indikator eko nomi menunjukkan bahwa keadaan hak ekonomi masyarakat masih begitu lemah. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (pendapatan di bawah 2 dollar seharinya-menurut standar internasional) di Indonesia saat ini mencapai 108 juta orang. Jika menggunakan standar pendapatan per harinya 1 dollar, jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia sebanyak 39,05 juta (Maret 2006), meningkat dari 35,10 di tahun 2005 (Februari 2005).
Dari segi kesehatan, berdasarkan data dari USAID 2006, sebanyak 24 balita meninggal setiap jam, dengan penyebab kematian 54% karena kurang gizi dan sisanya disebabkan oleh diare dan gangguan pernafasan. Angka kematian bayi dalam kisaran 23-103 bayi/1000 kelahiran hidup dengan angka kematian ibu mencapai 307/1000 kelahiran hidup. Catatan data kesehatan yang lain menunjukkan bahwa setiap tahun 3000 bayi lahir dengan positif HIV. Bahkan kasus busung lapar juga meningkat dari 1,67 juta anak (2004) menjadi 2,3 juta anak (2006). Dari segi pendidikan, masih banyak anak-anak Indonesia yang belum mendapatkan hak pendidikan secara layak. Sebanyak 4,2 juta anak usia sekolah tidak pernah mengenyam pendidikan. Angka putus sekolah SD mencapai 2,66% (1.267 juta), SMP 3,5% (638.056 juta) dengan 67,7% sarana pendidikan rusak.
Data di atas hanya sebagian kecil dari gambaran belum tertanganinya hak hidup masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, dengan baik. Parahnya lagi, pihak-pihak yang bertanggungjawab bahkan belum menyadari bahwa hak ekonomi juga merupakan hak asasi manusia. Sosiolog B Herry Priyono menyebutkan bahwa hak asasi ekonomi, sosial dan budaya memang masih banyak dilihat sebagai “aspirasi” ketimbang “hak asasi”. Sehingga tidak mengherankan jika banyak negara atau komunitas internasional lebih bisa menerima pengabaian hak sipil politik daripada hak ekonomi sosial budaya hingga pelanggaran akan hak ekonomi sosial budaya ini dibiarkan terus terjadi.
Upaya penegakan HAM ekonomi, sosial dan budaya ini justru lebih bersifat urgensi, karena menyangkut pemenuhan kebutuhan layak minimal (minimally decent) dan berkaitan dengan kelangsungan hidup seseorang. Sebenarnya tuntutan peran negara dalam pemenuhan hak ekonomi ini juga lebih sulit. Dalam pemenuhan hak sipil-politik, pemerintah hanya berperan dengan tidak turut campur (inaction). Dengan artian bahwa pemerintah hanya memberikan kebebasan untuk berserikat, berorganisasi dan berbicara. Beda dengan pemenuhan hak ekonomi, pemerintah dituntut untuk terjun langsung (action) menanganinya, sebagai contoh yaitu dengan menyediakan lapangan pekerjaan, sandang, papan dan pangan, juga fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau.
Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.
Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998. Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.
Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.
Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
Tuntutan untuk menegakkan HAM sudah sedemikian kuat, baik dari dalam negeri maupun melalui tekanan dunia internasional, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya dukungan dari semua pihak, seperti masyarakat, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers, agar upaya penegakan HAM bergerak ke arah positif sesuai harapan kita bersama. Penghormatan dan penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya.
Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan para elite politik agar penegakan HAM berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan memastikan bahwa hak asasi warga negaranya dapat terwujud dan terpenuhi dengan baik. Dan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa untuk mencegah agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa yang akan datang.
Diolah dari beberapa sumber untuk Tugas Kuliah. Semoga bermanfaat